Jumat, 25 Oktober 2013

soekarno

BUNG KARNO: TANPA RAKYAT AKU TIDAK
BERARTI APA-APA.
“Tanpa rakyat aku tidak berarti apa-apa. Kalau
aku mati, kuburkanlah Bapakmu menurut
agama Islam dan di atas batu kecil engkau
tulislah kata-kata sederhana: Di sini
beristirahat Bung Karno, Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia.”
(“Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia, halaman 472)
Soekarno kadangkala pergi tanpa tanda
pengenal ke tempat-tempat di mana rakyat
berkumpul. Dengan berkemeja dan kacamata
hitam, ia merasa dirinya lain, tak mudah
dikenali. “Kududuk seorang diri di pinggir
trotoar dan menikmati jajanku (sate) dari
bungkus daun pisang. Sungguh saat-saat yang
menyenangkan” (halaman 14).
Suatu hari ia pergi bersama seorang komisaris
polisi. Mereka berputar-putar di tengah rakyat
dan tak ada seorang pun yang memperhatikan
mereka. Ia bertemu dengan seorang laki-laki
dan berkata, “Dari mana diambil batubata ini
dan bahan konstruksi yang sudah
dipancangkan
ini?”
Sebelum pria itu menjawab, seorang
perempuan berteriak setelah mendengar suara
Soekarno: “Heee… itu suara Bapak! Orang ini
Bapak!” Tak lama kemudian ratusan lalu ribuan
orang berdatangan dari segala penjuru
(halaman 14).
Soekarno juga suka minum kopi, minuman
rakyat. Ia suka mengajak kawan-kawannya
minum kopi. Tak lama setelah ia menjadi
pimpinan PNI, ada sebuah kisah yang menarik
tentang kopi. Ia kedatangan teman, namanya
Sutoto. Ia sedang tak punya uang untuk
mengajak temannya itu minum kopi. Saat
mereka lagi mengobrol, seorang wartawan
lewat di depan rumahnya. Wartawan itu
sedang
mencari tulisan untuk korannya. Soekarno
menawarkan diri menulis.
Soekarno tawar-menawar dengan wartawan
itu:
berapa honor tulisannya. Akhirnya tercipta
sepakat, ia dibayar 2 rupiah. Ia membuatkan
tulisan untuk wartawan itu selama 15 menit.
Setelah tulisan itu jadi, ia pun mengajak Sutoto
dan Inggit, istrinya, minum kopi dan makan
peuyeum (halaman 120).
Soekarno memang suka menulis sejak remaja,
saat ia bersekolah di HBS, Surabaya. Ia menulis
untuk majalah Sarekat Islam, “Oetoesan
Hindia”. Ia sering menggunakan nama samaran
karena tulisan-tulisannya menentang
kolonialisme Belanda. Ia berkata ada 500 lebih
tulisannya di majalah-majalah itu (halaman
68). Saat dibuang di Pulau Bunga, Ende,
Soekarno menulis 12 cerita sandiwara pada
tahun 1934-1938 (halaman 181).
Saat menjadi presiden, Soekarno juga sering
mengundang orang-orang minum kopi. Ia
mengadakan jam kerja terbuka. “Pagi-pagi dari
jam 7 sampai jam 9 puluhan orang yang tidak
diundang secara resmi turut minum kopi.
Mereka adalah menteri-menteri, penasehat,
pembesar tinggi, atau penerbit yang baru
kutugaskan mencetak Injil dalam bahasa
Indonesia, atau pemahat patung yang baru saja
ditunjuk untuk menciptakan monumen
Angkatan Bersenjata, atau arsitek yang minta
persetujuan rencana gedung bertingkat yang
baru….” (halaman 440).
Soekarno adalah bapak bangsa yang hidup
dengan kemelaratan dan kemiskinan pada masa
kecilnya. Ia adalah wakil yang ideal dari
kondisi rakyat jelata pada zamannya. Inilah
yang tampaknya tidak bisa ia lupakan
sepanjang hayatnya, bahkan ketika ia sudah
menjadi presiden. Rakyat jelata selalu ada di
hati Soekarno. “Aku adalah kepunyaan rakyat.
Aku harus melihat rakyat, aku harus
mendengarkan rakyat dan bersentuhan dengan
mereka. Perasaanku akan tenteram kalau
berada di antara mereka,” katanya (halaman
11-12).
“Aku ingin bercampur dengan rakyat. Itulah
yang menjadi kebiasaanku. Akan tetapi aku
tidak dapat lagi berbuat demikian. Seringkali
aku merasakan badanku seperti akan lemas,
napasku akan berhenti, apabila aku tidak bisa
keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang
melahirkanku” (halaman 13).

Hari-hari Terakhir Bung Karno
Semua detik yang berdetak, semua menit
yang lewat, semua jam yang bergulir, semua
angin yang berembus… adalah duka
sepanjang hari. Satu hari bernama tanggal 18,
mungkin hanya bermakna 24 jam. Satu hari
berikutnya yang bernama tanggal 19 Juni
1970, adalah bilangan 1440 menit, 86.400
detik. Tapi semua itu adalah tusukan duri bagi
Sukarno yang tengah tergolek lemah.
Sedangkan tanggal 20 Juni, tercatat sebagai
simbol dwitunggal yang terpatri abadi.
Sejarahlah yang berkuasa pada hari itu. Bung
Hatta, datang menjenguk sahabat
seperjuangan. Sementara, Bung Karno,
seperti diberi kekuatan untuk menyaksikan
kedatangan Sang Hatta. Maka, terjadilah
pertemuan yang mengharu-biru, seperti
dikisahkan Meutia Hatta dalam bukunya:
Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan.
Berkata lirih Sukarno kepada Hatta, “Hatta…
kau di sini….?
Seperti diiris-iris hati Hatta melihat sahabatnya
tergolek tanpa daya. Demi memompa
semangat kepada sahabat, wajah teduh
Bung Hatta menampakkan raut yang
direkayasa, “Ya… bagaimana keadaanmu,
No?” begitu Hatta membalas sapaan lemah
Karno, dengan panggilan akrab yang ia
ucapkan di awal-awal perjuangan. Hatta
memegang lembut tangan Bung Karno. Bung
Karno melanjutkan sapaan lemahnya, “Hoe at
het met jou…” (Bagaimana keadaanmu?)
Hatta benar-benar tak kuasa lagi merekayasa
raut teduh. Hatta benar-benar tak kuasa
menahan derasnya arus kesedihan demi
mendengar sahabatnya menyapanya dalam bahasa Belanda, yang mengingatkannya pada masa-masa penuh nostalgi.
Apalagi, usai berkata-kata lemah, Sukarno menangis terisak-isak. Lelaki perkasa itu menangis didepan kawan seperjuangannya.
Seketika, Hatta pun tak kuasa membendung air mata.
Kedua sahabat yang lama berpisah, saling
berpegang tangan seolah takut terpisah.
Keduanya bertangis-tangisan.
“No….”
Hanya kata itu yang sanggup Hatta ucapkan, sebelum akhirnya meledak tangis yang sungguh memilukan.
Bibirnya bergetar menahan kesedihan, sekaligus kekecewaan.
Bahunya terguncang-guncang karena
ledakan emosi yang menyesakkan dada, yang mengalirkan air mata. Keduanya tetap berpegangan tangan. Bahkan, sejurus
kemudian Bung Karno minta dipasangkan
kacamata, agar dapat melihat sahabatnya
lebih jelas.
Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Mata
keduanya bertatapan… mereka berbicara
melalui bahasa mata. Sungguh, ada sejuta
makna yang tertumpah pada sore hari yang
bersejarah itu. Selanjutnya, Bung Karno
hanya diam. Diam, seolah pasrah menunggu datangnya malaikat penjemput, guna mengantarnya ke swarga loka, terbang bersama cita-cita yang kandas di tangan bangsanya sendiri. (roso daras)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar